Imam As-Syatibi

  1. A. PENDAHULUAN

Sebagaimana kita ketahui bahwa manfaat dari ilmu ushul fiqh amat dirasakan dalam menangkap “pesan-pesan” Tuhan, salah satunya yang berhubungan dengan amaliyah sehari-hari, hubungan antar makhluq, serta masalah aqidah. Upaya-upaya di kalangan dulu dalam membuat metodologi pengambilan hukum sungguh amat penting bagi generasi selanjutnya dan perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tetapi apa yang telah dirumuskan oleh pendahulu tadi bukanlah hal baku yang tidak mengalami perkembangan dan bahkan perubahan, tetapi sebaliknya. Pada era dimana ilmu tersebut lahir, ushul fiqh telah mengalami perkembangan, bahkan berbeda satu teori dengan yang lainnya

Seiring dengan perputaran poros waktu, permasalahan-permasalahan pun kian bergulir. Hal inilah yang menggelitik para fuqoha’ untuk terus menggali sumber-sumber hukum demi mencari solusi masalah kekinian yang terus menjamur. Dan hal ini pula yang mengakumulasi pemikiran-pemikiran yang berbeda satu sama lain, sehingga terjadilah pemetakan umat Islam dalam beberapa madzhab. Methodologi inferensi hukum (istinbath al-hukm) yang diterapkan pun berbeda-beda hal ini disebabkan karena ruang dan waktu serta permasalahan yang dihadapi berbeda-beda, hal ini terbukti dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi serta perkembangan zaman yang terus bergulir.

Dalam wacana keagamaan modern, istilah maqashid asy-syari‘ah sering dilontarkan terutama oleh para cendekiawan muslim akhir-akhir ini. Istilah ini sebetulnya merupakan istilah lama yang digagas oleh Imam Asy-Syatibi, yang kemudian kembali dipopulerkan. Belakangan, nama Syatibi hampir selalu tercantum disetiap lembar diskursus pembaharuan pemikiran hukum Islam, baik di dalam negeri Indonesia yang umumnya bermadzhab syafi’i maupun di negeri-negeri muslim yang lain dengan aneka ragam madzhab bahkan semenjak abad 19 hingga kuartal pertama abad ini, nuktah pemikiran-pemikiran hukum Syatibi telah menjadi referensi utama kalangan pemikir islam.

  1. B. PEMBAHASAN
    1. 1. Biografi Imam Asy-Syatibi

Nama lengkap Imam Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M.[1] Nama Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa (Syathibah=arab), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia. Pada tahun 1247M, sedangkan Gharnathi (Granada) karena ia tumbuh dan dewasa dan menjalani seluruh tahap kehidupannya di kota yang menjadi ibukota kerajaan banu nashr. Selang beberapa waktu kemudian  keluarga Imam Syathibi mengungsi ke Granada setelah Sativa, tempat asalnya, jatuh ke tangan raja Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang kurang lebih 9 tahun sejak tahun 1239M.

Granada sendiri awalnya adalah sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung Syulair yang sangat kental dengan saljunya. Karena Granada ini kota kecil dan sangat dingin, maka orang-orang muslim saat itu lebih memilih pindah ke kota Birrah—sebuah kota yang terletek tidak jauh dari Granada—dari pada tinggal di Granada. Ketika Imam Syathibi hidup pada masa mudanya, Granada diperintah oleh Bani Ahmar,  bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya universitas Granada. Dan suasana ini sangat menguntungkan Al-Syatibi dalam menuntut ilmu dan mengembangkannya. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermadzhab maliki ini mendalami berbagai bidang ilmu, namun ia lebih berminat untuk mempelajari bahasa arab dan khusunya ushul fiqh. Setelah mendapatkan ilmu, kemudian ia mengajarkan ilmunya kepada generasi berikutnya.

Didalam perkembangan studinya Syatibi mendapatkan berbagai ilmu dari para pakarnya pada saat itu, untuk aspek bahasa arab dia belajar langsung pada mentornya Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhhar al-albiri yang dikenal sebagai guru tata bahasa arab di Andalusia. Sedangkan dalam biidang ulumul Qur’an Syatibi banyak belajar pada Abu al-Qosim dan syamsudin al-Tilimsani, sementara untuk ilmu theology dan falsafah diperoleh dari Abu Ali MAnsur ibn Muhammad Al Zawawi, sedangkan pada bidang Usul fiqih Syatibi banyak memperoleh ilmu dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al MAqqari dan dari imam ternama madzhab maliki di spanyol, Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Syarif al-Tilimsani. Tidak hanya belajar dari para mentornya sytibi juga melakukan banyak diskusi dengan para ulama paada saat itu serta ketekunan dan kerajinan Syatibi yang didukung lingkungan dan suasana ilmiah yang cukup kondusif dengan Universitas Granada sebagai pusat kajian intelektual waktu itu telah turut mengantarkan Syatibi untuk menjadi seorang tokoh intelektual islam yang di segani. Ketokohan Syatibi sebagai ilmuwan terus diperkukuh dengan berjibun karya monumental  yang lahir dari tangannya, posisinya yang mantap sebagai seorang ilmuan brilian terus menarik simpati, sehinnga banyak orang yang bersedia menjadi muridnya.

2.  Maqashid Asy-Syari‘ah

a. Pengertian

Ada beberapa pengertian terkait dengan tema di atas salah satunya secara bahasa, maqashid al-syariah terdiri diri dari dua kata; maqashid dan al-syariah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air. Imam asy-Syatibi menyatakan, menurut istilah: sesungguhnya syariah itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Secara generic, maqashid syari’ah berarti tujuan diundangkanya sebuah syari’ah (ketentuan hukum). Dalam konteks maqashid syari’ah, Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam ungkapan lain, Syatibi mengatakan bahwa hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba secara mutlak tidak satupun hukum Allah dalam pandangan Syatibi yang tidak mengemban misi kemaslahatan kemanusiaan secara universal, bahkan ia mengatakan bahwa semua ketentuan hukum yang dibuat oleh Allah bukanlah untuk menaikkan kedudukan Tuhan di depan hambanya, melainkan justru untuk kepentingan hamba sendiri, yaitu untuk kemaslahatan diri baik dunia maupun akhirat.[2]

b. Kategorisasi Maqâshid Asy-Syarî‘ah

Maqashid syari’ah oleh Syatibi dilihat melalui beberapa sudut pandang yaitu:

  1. Maqashid asy-syari’ (tujuan Tuhan), dalam arti maqashid asy-syari’ah dalam tujuan Tuhan memuat empat aspek utama:

a)      tujuan awal dari syari’ah yaitu kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat

b)      syari’ah sebagai sesuatu yang harus dipahami, aspek kedua ini berkaitan dengan dimensi bahasa dalam konteks ini adalah bahasa arab, agar syari’ah dapat dipahami sehingga kemaslahatan yang dikandungnya dapat dicapai.

c)      syari’ah sebagai hukum taklif yang harus dilaksanakan. Aspek ke tiga ini berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan syari’ah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Dalam kaitan ini hukum harus berada dalam kemampuan mukallaf, jika mukallaf tidak mampu melakukannya taklif tidak sah secara syara’, contoh:

Ÿxsù £`è?qßJs? žwÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡•B ÇÊÌËÈ

Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam

Dalam hadits Nabi:

كن عبد الله المقتول ولا تكن عبد الله القا تل

Jadilah hamba Allah yang terbunuh dan jangan menjadi hamba Allah sebagai pembunuh.

لاتمت وانتم ظالم

Janganlah mati dalam keadaan dhalim.

Dari ayat dan hadits tersebut jelas tidak ada tuntutan kecuali sesuai dengan kemampuan manusia. Yaitu mati dalam keadaan Islam, meninggalkan kedhaliman, tidak membunuh. Sedangkan contoh yang menujukan mukallaf tidak mampu, seperti cacat. Hal tersebut Tuhan tidak menuntut umatnya untuk memberbaikinya.[3]

d)     tujuan syari’ah adalah membawa manusia kebawah naungan hukum. Aspek yang terakhir ini berkaitan dengan ketaan manusia sebagai mukallaf untuk tetap tunduk dengan hukum-hukum Allah. Dalam ungkapan yang lebih tegas syari’ah juga bertujuan membebaskan manusia dari dorongan hawa nafsu, karena kemaslahatan dunia maupun akhirat tidak akan berhasil jika hanya mengikuti hawa nafsu.[4]

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Mengacu pada aspek maqashid as-syari’ maka aspek pertama adalah filosofi dasar tujuan dari taklif, sedangkan aspek yang lain adalah penterjemahan secara praktis dari aspek yang pertama. Sebagai aspek inti, aspek pertama baru dapat terwujud melalui pelaksanaan takllif atau pembebanan hukum terhadap mukallaf seperti pada aspek ketiga, taklif tidak dapat dilakukan kecuali setelah memiliki pemahaman yang utuh terhadap syari’ah sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan taklif ini dimaksudkan agar dapat membebaskan mukallaf dari dorongan hawa nafsunya sehingga senantiasa berada dalam hukum-hukum Allah sebagaiamana aspek keempat.

2.  Maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf)

Maqashid mukallaf tidak dibahas lebih lanjut dalam kajian ini karena lebih menggambarkan sikap mukallaf terhadap maqashid as-syari’.

Kemaslahatan menurut Syatibi dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu kata Syatibi adalah memelihara agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql) keturunan (hifz al-nasl) dan harta (hifz al-mal). Dalam usaha mewujudkan dan memelihara unsur pokok itu Syatibi membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu:

Al-dharuriyyat               : dapat dikatakan kebutuhan primer,[5] yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang ada demi kemaslahatan mereka. yang dimaksudkan memelihara untuk lima unsur pokok di atas.[6]

Al-Hajiyyat                       : dapat dikategorikan kebutuhan sekunder.[7] Segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Yang dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Misalnya: dispensasi jika sakit tidak puasa.[8]

Al-Tahsiniyyat                 : tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-akhlak al-karim yang dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok. Artinya jika hal ini tidak dijaga maka akan timbul kekacauan. Misalnya: ibadah menutup aurat, suci dari najis.[9]

c. Piranti Pembacaan Teks Syari’

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa maqashid syari’ah menurut Syatibi terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang kemudian mendapatkan penjabaran teknis dari sunnah oleh karena itu untuk memahami secara utuh dan komprehensif teks-teks keTuhanan di perlukan seperangkat alat untuk memahami teks tersebut:

1)      Memiliki pengetahuan bahasa arab yang tangguh. Syarat pertama berpangkal dari alasan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber hukum diturunkan oleh Tuhan dalam bentuk bahasa Arab.

2)      Memiliki pengetahuan tentang sunnah, karena tidak semua ayat yang sulit dipahami ada penjelasannya dalam Al-Qur’an atau tidak semua penjelasan itu dapat ditemukan atau diketahui. Sunnah Rasul sangat diperlukan dalam usaha memahami ayat-ayat Al-Qur’an karena tanpa itu hampir dapat dipastikan tidak dapat memahami dan mengamalkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an. Fungsi sunnah dalam memahami Al-Qur’an termasuk dalam memahami maqashid syari’ah yaitu sebagai penguat terhadap hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an, penjelas terhadap apa yang ditetapkan oleh Al-Qur’an secara global dan memberikan spesifikasi terhadap hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an secara umum.

3)      Memahami sebab-sebab turunnya ayat, menurut Syatibi pengetahuan tentang sebab turun ayat merupakan syarat mutlak yang diperlukan untuk memahami petunjuk Al-Qur’an. Termasuk kedalam permasalahan asbabun nuzul, menurut Syatibi adalah adanya keharusan untuk mengetahui tradisi dan kultur masyarakat Arab serta situasi yang berlangsung ketika turunnya suatu ayat.

d. Memahami Maqsid Syari’ah[10]

Dalam kaitan dan upaya pemahaman maqashid syari’ah, menurut Syatibi para ulama terbagi menjadi tiga kelompok dengan cara yang berbeda-beda. Pertama, adalah ulama yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan, dalam bentuk lahir teks pandangan ini menolak analisis lewat jalan qiyas (analogi) kelompok ini disebut ulama Skriptualis. Kedua ulama yang tidak menempuh pendekatan lahir lafadz dalam mengetahui maqashid syari’ah kelompok ini di bagi menjadi dua: (a) ulama yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah bukan dalam bentuk dhahir dan bukan pula sesuatu yang dipahami dari petunjuk dhahir ayat itu. Maqashid syari’ah adalah hal lain yang berada dibalik petunjuk suatu ayat dengan demikian, tak seorang pun dapat berpegang pada dhahirnya ayat sehingga dapat memperoleh pengertian maqashid syari’ah kelompok ini disebut kelompok substansialis (b) kelompok yang berpendapat bahwa maqashid syari’ah harus dikaitkan dengan makna-makna lafad, artinya lafad harus ditangkap dari sudut maknanya dan apabila ada pertentangan antara dhahir makna dan nalar maka yang diutamakan adalah pengertian nalar kelompok ini di sebut kelompok rasionalis. ketiga ulama yang menggabungkan kedua pendekatan sebelumnya secara sekaligus antara dhahir lafad dan pertimbangan makna dengan tidak merusak dhahir lafad dan tidak pula merusak kandungan maknanya, agar syari’ah tetap berjalan secara harmonis tanpa kontradiksi, kelompok ini di sebut kelompok konvergensionis.

Dalam memahami maqashid syari’ah Syatibi termasuk dalam kelompok ketiga ini. Penilaian ini didasarkan pada tiga cara yang dikemukakan oleh Syatibi dalam upaya memahami maqashid syari’ah. Tiga cara itu adalah:

(1) melakukan analisis terhadap lafad perintah dan larangan. Karena setiap lafadz yang mengandung perintah tidak selamanya merupakan suatu kewajiban, begitu juga lafadz larangan. Contoh:

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) š”ÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó™$$sù 4’n<Î) ̍ø.ό «!$# (#râ‘sŒur yìø‹t7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Larangan berjual beli dalam ayat tersebut bukan larangan sepenuhnya, karena larangan tersebut sebagai ta’kid atau penguat terhadap perintah bersegera mengingat Allah, tetapi larangan tersebut dimaksudkan sebagai maksud yang kedua, karena jual beli bukan hal yang terlarang.[11]

(2) kajian terhadap illat (kausa/motif) perintah dan larangan, illat hukum ada kalanya dapat diketahui secara langsung dan kadangkala tidak dapat diketahui secaara langsung. Terhadap illat yang sudah diketahui menurut Syatibi tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti apa yang ada dalam teks dan terhadap illat yang belum diketahui ada dua hal yang dilakukan:

(a) tidak boleh melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang ditetapkan oleh nash

(b) bahwa pada prinsipnya melakukan perluasan itu tidak diperkenankan namun perluasan ini dapat dilakukan jika dimungkinkan dapat mengetahui tujuan hukumnya.[12]

(3) dengan membedakan mana yang maqashid asliyah atau maqashid pertama dengan maqashid tabi’ah atau maqashid kedua. Contoh: tujuan utama (maqashid asli) dari pernikahan adalah untuk mengembang biyakan makhluk hidup salah satunya manusia agar tidak punah hal ini didasarkan pada hadits nabi yang memerintahkan umatnya dalam berlomba-lomba utuk memperbanyak umat (anak), sedangkan maqashid tabi’ah atau yang kedua dari sebuah pernikahan adalah untuk menggapai ketenangan, bersenang-senang dengan pasangan, menjaga diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian dengan contoh pernikahan diatas keberadaan maqashid kedua bukan untuk menegasikan maqashid pertama melainkan justru memperkuat keberadaannya, meneguhkan hikmah-hikmahnya.[13] Contoh kedua dalam hal ibadah, tujuan pokok disyari’atkannya shalat untuk tunduk kepada Allah, ikhlas menghadap Allah, sebagaimana dalam firman Allah:

ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& ’ÎTô‰ç6ôã$$sù ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ü“̍ò2Ï%Î! ÇÊÍÈ

Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.

Maqasid tabi’ah dalam shalat adalah menghindarkan dari perbuatan keji dan mungkar dan meminta rizki, sebagaimana dalam ayat al-Qur’an:

ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7ø‹s9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4‘sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ

Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.[14]

(4) analisis terhadap sukut al-syari’, mengkaji terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebutkan oleh syari’ hal ini dibagi menjadi dua bagian:

(a) Syari’ diam karena tidak ada motif yang mendorongnya untuk bertindak dengan menetapkan suatu ketentuan hukum. Contoh: penerapan hukum terhadap masalah-masalah yang muncul setelah Nabi wafat, dimana hal tersebut tidak terjadi sebelumnya dan membutuhkan pemikiran dari ahli Syari’ah. Seperti   pengkodifikasian Al-Qur’an, pembukuan ilmu.

(b) Syari’ secara sengaja diam sekalipun ada motif yang mendorongnya untuk bergerak menetapkan hukum. Sikap ini menurut Syatibi harus dipahami bahwa suatu hukum yang diberlakukan dalam masyarakat harus sesuai dengan tuntunan yang sudah ditetapkan oleh syari’ tanpa perlu untuk menambah dan mengurangi syari’ah karena manusia tidak memiliki otoritas untuk menciptakan syari’ah baru. Sebagai contohnya yaitu sujud syukur dalam madzhab Maliki, beliau menetapkan dari hadits yang diriwayatkan oleh ’Utaibah dan Ibnu Nafi’, bahwa ketika seorang laki-laki datang dalam keadaan senang dan bertanya kepada Imam Malik, maka menyuruhnya untuk bersujud karena syukur kepada Allah. Hal ini didasarkan pada Abu Bakar yang melakukan sujud syukur pada perang Yamamah.[15]

C. PENUTUP

Kajian tentang maqasid memang lagi banyak mendapatkan perhatian yang serius. Terbukti dengan makin banyaknya disertasi doktoral atau mejister yang mengangkat wacana ini. Dan semua sepakat akan urgensinya diskursus ini dan perlu dikembangkan secara mendalam tanpa harus menegasikan yang lain.[16]

Maqashid syari’ah tampaknya bisa dijadikan sebagai modal dasar dalam pengembangan hukum Islam. Aksestuasi pada kalkulasi pertimbangan maqashid syari’ah diharapkan dapat menjadikan hukum Islam lebih dinamis sehingga mampu menjawab permasalahan-permasalahan modern yang saat ini terus berkembang serta perubahan sosial yang terus melaju tanpa kenal lelah dan secara gigantis.

Maqashid Syari’ah sebagai dasar pemikirian tentu kita welcome. Namun, bagaimana cara Syatibi menggapai maqashid syari’ah , kita bisa memperdebatkannya bahkan boleh jadi penentangnya. Karena sesungguhnya segala sesuatu tidaklah lepas dari sebuah kritik.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi,Satria Ushul Fiqih, (2005) Jakarta: kencana

Ghozali,Moqsid Anggitan Maqashid Al-Syari’ah Ala Syatibi:sebuah keleidoskop, (2002) Jurnal Lisan Al-Hal: IAI Ibrahimy Situbondo.

Ishaq As-Syatibi Ibrahim Bin Musa Al-Lakmi Al-Gharnathi Al-Maliki Abu, Al-Muwaafaqat fi Ushuli Syari’ah (2003), Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah jilid 2.

Koto, Alaidin Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (2004) Jakarta: Raja Grafindo

Manan, Abdul Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (2006) Jakarta: Raja Grafindo.

Maqashid Syari’ah Sebagai Doltrin” Internet Website:http://asshof4.wordpress.com/2008/03/08/maqashidus-syariah-sebagai-doltrin/



[1] Sebetulnya tempat kelahiran Imam Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada atau di Sativa. Karena dalam teks buku al-Ifadaat sendiri hanya disebutkan bahwa Imam Syathibi itu nasya’a bi gharnathah, hanya tumbuh bukan dilahirkan. Demikian juga dengan tahun kelahirannya. Akan tetapi karena tidak ada keterangan lain, maka para penulis berikutnya menjadikan Granada sebagai tempat kelahirannya. Demikian juga dengan tahun kelahirannya, ada yang mengatakan ia lahir sebelum tahun 720H ada juga yang setelahnya.

[2] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006).,105

[3] Abu Ishaq As-Syatibi Ibrahim Bin Musa Al-Lakmi Al-Gharnathi Al-Maliki, Al-Muwaafaqat fi Ushuli Syari’ah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), jilid 2,.82-83

[4] Ibid.,129

[5] Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: kencana, 2005).,234

[6] Alaidin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004).,122

[7] Satria Op.Cit.,234

[8] Ibid.,123

[9] Ibid.,125

[10] Moqsid Ghozali, Anggitan Maqashid Al-Syari’ah Ala Syatibi:sebuah keleidoskop, (Jurnal Lisan Al-Hal: IAI Ibrahimy Situbondo, 2002).,44

[11] Op.Cit Muwafaaqat., 298.

[12] Dengan Memperhatikan pola diatas tampaknya poin a berada pada domain ibadah, sedangkan poin b pada domain muamalah, liat Maqashid Ghozali., Op.,Cit 56

[13] Op.Cit Muwafaaqat.,301

[14] Ibid.,303

[15] Ibid.,311

[16]Maqashid Syari’ah Sebagai Doltrin” Internet Website:http://asshof4.wordpress.com/2008/03/08/maqashidus-syariah-sebagai-doltrin/ Diakses Pada 20 November 2009, Jam 06.00 WIB

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Tinggalkan komentar